Sabtu, 27 Juli 2013

Thoriqoh di Dunia

Dinukil dari "Ensiklopedi Islam", Penerbit PT.Ikhtiar Van Hoven Jakarta, tahun 1994.

1. T: Ad-Hamiyyah. P:Ibrohim bin Adham. Di Damaskus Syuriah.
2. T: Ahmadiyyah. P:Mirza Ghulam Ahmad. Di Qodiyan India.
3. T: `Alawiyyah. P:Abu Abbas Ahmad. Di Musta`nim Aljazair.

4. T: `Alwaniyyah. P: Syaikh Alwan. Di Jeddah Saudi Arabia.
5. T: `Ammariyyah. P: Ammar Busina. Di Konstantine Aljazair.
6. T: Asysyaaqiyyah.P: Hasanuddin. Di Istambul Turki.
7. T: Asyroofiah. P:Asrof Rumi. Di Khin Iznik Turki.
8. T: Baahaiyyah. P:Abdul Ghoni. Di Adrianopel Turki.
9. T: Bahromiyyah. P: Hajji Bahromi. Di Ankara Turki.
10. T: Bakriyyah. P: Abu Bakar Wafa`i. Di Aleppo Syuriah.
11. T: Biktasyi. P: Biktasyi fili. Di Kirshir Turki.
12. T: Bistaamiyyah.P: Abu Yazid Al Bistami. Di Jabal Bistam Iran.
13. T: Ghulsyaaniyyah. P: Ibrohim Ghulsyani. Di Kairo Mesir.
14. T: Haddaadiyyah. P: Sayyid Abdulloh bin `alawy bin Muhammad AlHaddad. Di Hijaz, Arab saudi.
15. T: Idriisiyyah. P: Sayyid Ahmad bin Idris.Di `Ashir, Arab saudi.
16. T: Ightibaasiyyah. P: Syamsuddin. Di Maghnasiyah Yunani.
17. T: Jalwaatiyyah. P: Fier Uftady. Di Bursa Turki.
18. T: Jamaaliyyah. P: Jamaluddin. Di Istambul Turki.
19. T: Kubroowiyyah. P: Najmuddin. Di Khurosan Iran.
20. T: Qodiriyyah.P: Abdul Qodir Al Jailani. Di Baghdad Irak.
21. T: Kholwatiyyah. P: Umar Al Kholwaty. Di Kasyiri Turki.
22. T: Maulawiyyah. P: Jalaluddin Rumi. Di Kunya Anatholia.
23. T: Muroodiyyah. P: Murod Syami. Istambul Turki.
24. T: Naqsyabandiyyah. P: Muhammad bin muhammad al Uwaisi al Bukhori Naqsyabandi. Di Qosri Arifan Turki.
25. T: Niyaziyyah. P: Muhammad Niyaz. Di Limnuz Yunani.
26. T: Ni`matulloh. P: Syah Wali Ni`matulloh. Di Kirman Iran.
27. T: Nur Bahsyiyyah. P: Muhammad Nurbah. Di Khurosan Iran.
28. T: Nuruddiiniyyah. P: Nuruddin. Di Istambul Turki.
29. T: Rifaa`iyyah. P: Sayyid Ahmad Ar Rifa`i. Di Baghdad Irak.
30. T: Sa`diyyah. P: Sa`aduddin Jibawi. Di Damaskus Syuria.
31. T: Safaawiyyah. P: Saifuddin. Di Ardabil Iran.
32. T: Sanusiyyah. P: Sidi Muhammad bin `Ali As Sanusi. Di Tripoli Libya.
33. T: Saqoothiyyah. P: Sirri Saqothi. Di Baghdad Irak.
34. T: Shiddiqiyyah. P: Kyai Muchtar Mu`thi. Di Jombang Jawa Timur Indonesia.
35. T: Sinan Ummiyyah. P: Alim Sinan Ummi. Di Al Wali Turki.
36. T: Suhrowardiyyah. P: Abu Najib Suhrowardi dan Syihabuddin Abu Hafsin Umar bin Abdulloh Suhrowardi. Di Baghdad Irak.
37. T: Sunbuliyyah. P: Sunbul Yusuf Bulawi. Di Istambul Turki.
38. T: Samsiyyah. P: Syamsuddin. Di Madinah Arab Saudi.
39. T: Syattaariyyah. P: Abdulloh Syattar. Di India.
40. T: Syaadziliyyah. P: Abu Hasan Ali Assyadzili. Di Mekkah Arab Saudi.
41. T: Tijaaniyyah. P: Abul Hasan Ahmad bin Muhammad Tijani. Di Fez, Maroko.
42. T: Um Sunaniyyah. P: Syaikh Um Sunan. Di Istambul Turki.
43. T: Wahaabiyyah. P: Muhammad bin Abdul Wahab. Di Nejed Arab Saudi. 44. T: Zainiyyah. P: Zainuddin. Di Kufah, Irak.

Teknik Spiritual Naqsyabandiyah

Tariqat Naqshbandi terbina asas dan rukunnya oleh 5 bintang yang bersinar diatas jalan Rasulullah (s.a.w) ini dan inilah yang merupakan ciri yang unik bagi tariqat ini yang membezakannya daripada tariqat lain. Lima bintang yang bersinar itu ialah Abu Bakr as-Siddiq,Salman Al-Farisi,Bayazid al-Bistami,Abdul Khaliq al-Ghujdawani dan Muhammad Bahauddin Uwaysi a-Bukhari yang lebih dikenali sebagai Shah Naqshband - Imam yang utama didalam tariqat ini.
Perkataan Naqshband berasal daripada dua cetusan idea : naqsh yang bermaksud "ukiran" dan ini diertikan sebagai mengukir nama Tuhan pada hati dan band pula bermaksud "ikatan" yang menunjukkan ikatan antara insan dan Penciptanya. Oleh itu ini bermakna Tariqat Naqshbandi mengajak murid-muridnya lelaki ataupun perempuan, agar melakukan solat dan menunaikan perkara yang wajib mengikut Al-Quran dan As-sunnah Rasulullah (s.a.w) dan kehidupan para sahabat berserta dengan sifat Ihsan. Agar terus bermujahadah dan dapat merasakan kehadiran Allah dan perasaan cinta kepada Allah didalam hati murid-murid tadi dan seterusnya terjalinlah ikatan antara murid dengan Penciptanya.
Kaum Naqsyabandiyah dalam jumlah dan kekuatan intelektualnya, tidak dapat digambarkan secara seragam dalam Dunia Islam sekarang ini.

Pengaruh mereka mungkin paling kuat di Turki dan wilayah Kurdistan, dan yang paling lemah adalah di Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet, pengaruh Naqsyabandiyah sangat terasa pada gerakan "Islam bawah tahan" di Kaukasus Asia Tengah. Namun, pada akhirnya pemerintahan Soviet tidak diikuti perkembangan Naqsyabandiyah di permukaan.

Berbagai Ritual dan Teknik Spiritual Naqsyabandiyah
Seperti tarekat-tarekat yang lain, Tarekat Naqsyabandiyah itu pun mempunyai sejumlah tata-cara peribadatan, teknik spiritual dan ritual tersendiri. Memang dapat juga dikatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah terdiri atas ibadah, teknik dan ritual, sebab demikianlah makna asal dari istilah thariqah, "jalan" atau "marga". Hanya saja kemudian istilah itu pun mengacu kepada perkumpulan orang-orang yang mengamalkan "jalan" tadi.

Naqsyabandiyah, sebagai tarekat terorganisasi, punya sejarah dalam rentangan masa hampir enam abad, dan penyebaran yang secara geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah mengherankan apabila warna dan tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan aneka variasi mengikuti masa dan tempat tumbuhnya. Adaptasi terjadi karena keadaan memang berubah, dan guru-guru yang berbeda telah memberikan penekanan pada aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta para pembaharu menghapuskan pola pikir tertentu atau amalan-amalan tertentu dan memperkenalkan sesuatu yang lain. Dalam membaca pembahasan mengenai berbagai pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya selalu diingat bahwa dalam pengamalannya sehari-hari variasinya tidak sedikit.

Asas-asas
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan oleh 'Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha' al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini disebutkan satu per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut Khalidiyah, Jami al-'Ushul Fi al-'Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya' al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip dengan uraian Taj al-Din Zakarya ("Kakek" spiritual dari Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan kebanyakan penganut Naqsyabandiyah India).

Asas-asasnya 'Abd al-Khaliq adalah:

1. Hush dar dam: "sadar sewaktu bernafas". Suatu latihan konsentrasi: sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).

2. Nazar bar qadam: "menjaga langkah". Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.

3. Safar dar watan: "melakukan perjalanan di tanah kelahirannya". Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi)].

4. Khalwat dar anjuman: "sepi di tengah keramaian". Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat pada konsep "innerweltliche Askese" dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai "menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang"; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara'. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.

5. Yad kard: "ingat", "menyebut". Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen.

6. Baz gasyt: "kembali", " memperbarui". Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.

7. Nigah dasyt: "waspada". Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru (anonim): "Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun."

8. Yad dasyt: "mengingat kembali". Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Zat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.



Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:

1. Wuquf-i zamani: "memeriksa penggunaan waktu seseorang". Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.

2. Wuquf-i 'adadi: "memeriksa hitungan dzikir seseorang". Dengan hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.

3. Wuquf-I qalbi: "menjaga hati tetap terkontrol". Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir di atasnya.



Zikir dan Wirid
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, "tersembunyi", atau qalbi, " dalam hati"), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain.

Dzikir dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjamaah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum'at dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi.

Dua dzikir dasar Naqsyabandiyah, keduanya biasanya diamalkan pada pertemuan yang sama, adalah dzikir ism al-dzat, "mengingat yang Haqiqi" dan dzikir tauhid, " mengingat keesaan". Yang duluan terdiri dari pengucapan asma Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafty wa itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat la ilaha illa llah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.

Variasi lain yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya adalah dzikir latha'if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini, lathifah (jamak latha'if), adalah qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting susu kiri; ruh (jiwa), selebar dua jari di atas susu kanan; sirr (nurani terdalam), selebar dua jari di atas putting susu kanan; khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di atas puting susu kanan; akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada; dan nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama. Lathifah ketujuh, kull jasad sebetulnya tidak merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan. Konsep latha'if -- dibedakan dari teknik dzikir yang didasarkan padanya -- bukanlah khas Naqsyabandiyah saja tetapi terdapat pada berbagai sistem psikologi mistik. Jumlah latha'if dan nama-namanya bisa berbeda; kebanyakan titik-titik itu disusun berdasarkan kehalusannya dan kaitannya dengan pengembangan spiritual.

Ternyata latha'if pun persis serupa dengan cakra dalam teori yoga. Memang, titik-titik itu letaknya berbeda pada tubuh, tetapi peranan dalam psikologi dan teknik meditasi seluruhnya sama saja.

Asal-usul ketiga macam dzikir ini sukar untuk ditentukan; dua yang pertama seluruhnya sesuai dengan asas-asas yang diletakkan oleh 'Abd Al-Khaliq Al-Ghujdawani, dan muntik sudah diamalkan sejak pada zamannya, atau bahkan lebih awal. Pengenalan dzikir latha'if umumnya dalam kepustakaan Naqsyabandiyah dihubungkan dengan nama Ahmad Sirhindi. Kelihatannya sudah digunakan dalam Tarekat Kubrawiyah sebelumnya; jika ini benar, maka penganut Naqsyabandiyah di Asia Tengah sebetulnya sudah mengenal teknik tersebut sebelum dilegitimasikan oleh Ahmad Sirhindi.

Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir; pembacaan aurad (Indonesia: wirid), meskipun tidak wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan dan atau memuji Nabi Muhammad, dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang sudah ditentukan dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan mendatangkan manfaat. Seorang murid dapat saja diberikan wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh syekhnya, untuk diamalkan secara rahasia (diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain; atau seseorang dapat memakai kumpulan aurad yang sudah diterbitkan. Naqsyabandiyah tidak mempunyai kumpulan aurad yang unik. Kumpulan-kumpulan yang dibuat kalangan lain bebas saja dipakai; dan kaum Naqsyabandiyah di tempat yang lain dan pada masa yang berbeda memakai aurad yang berbeda-beda. Penganut Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya, sering memakai Al-Aurad Al-Fathiyyah, dihimpun oleh Ali Hamadani, seorang sufi yang tidak memiliki persamaan sama sekali dengan kaum Naqsyabandiyah.

Lathifah-lathifah Batin dalam Thariqat Sufi


Acuan dalam pengamalan tarekat bertumpu kepada tradisi dan akhlak nubuwah (kenabian), dan mencakup secara esensial tentang jalan sufi dalam melewati maqomat dan ahwal tertentu. Setelah ia tersucikan jasmaniahnya, kemudian melangkah kepada aktivitasaktivitas, yang meliputi:
Pertama, tazkiyah an nafs atau pensucian jiwa, artinya mensucikan diri dari berbagai kecenderungan buruk, tercela, dan hewani serta menghiasinya dengan sifat sifat terpuji dan malakuti.
Kedua, tashfiyah al qalb, pensucian kalbu. Ini berarti menghapus dari hati kecintaan akan kenikmatan duniawi yang sifatnya sementara dan kekhawatirannya atas kesedihan, serta memantapkan dalam tempatnya kecintaan kepada Allah semata.
Ketiga, takhalliyah as Sirr atau pengosongan jiwa dari segenap pikiran yang bakal mengalihkan perhatian dari dzikir atau ingat kepada Allah.
Keempat, tajalliyah ar Ruh atau pencerahan ruh, berarti mengisi ruh dengan cahaya Allah dan gelora cintanya.
Qasrun = Merupakan unsur jasmaniah, berarti istana yang menunjukan betapa keunikan struktur tubuh manusia.
Sadrun = (Latifah al-nafs) sebagai unsur jiwa
Qalbun = (Latifah al-qalb) sebagai unsur rohaniah
Fuadun = (Latifah al-ruh) Unsur rohaniah
Syagafun = (Latifah al-sirr) unsur rohaniah
Lubbun = (Latifah al-khafi) unsur rohaniah
Sirrun = (Latifah al-akhfa) unsur rohaniah
Hal ini relevan dengan firman Allah SWT dalam hadist qudsi:
"Aku jadikan pada tubuh anak Adam (manusia) itu qasrun (istana), di situ ada sadrun (dada), di dalam dada itu ada qalbu (tempat bolak balik ingatan), di dalamnya ada lagi fu'ad (jujur ingatannya), di dalamnya pula ada syagaf (kerinduan), di dalamnya lagi ada lubbun (merasa terialu rindu), dan di dalam lubbun ada sirrun (mesra), sedangkan di dalam sirrun ada "Aku".
Ahmad al-Shirhindi dalam Kharisudin memaknai hadist qudsi di atas melalui sistem interiorisasi dalam diri manusia yang strukturnya yang dapat diperhatikan dalam gambar di atas.
Pada dasarnya lathifah-lathifah tersebut berasal dari alam amri (perintah) Allah : "Kun fayakun", yang artinya, "jadi maka jadilah" (QS : 36: 82) merupakan al-ruh yang bersifat immaterial. Semua yang berasal dari alam al-khalqi (alam ciptaan) bersifat material. Karena qudrat dan iradat Allah ketika Allah telah menjadikan badan jasmaniah manusia, selanjutnya Allah menitipkan kelima lathifah tersebut ke dalam badan jasmani manusia dengan keterikatan yang sangat kuat.
Lathifah-lathifah itulah yang mengendalikan kehidupan batiniah seseorang, maka tempatnya ada di dalam badan manusia. Lathifah ini pada tahapan selanjutnya merupakan istilah praktis yang berkonotasi tempat.
Umpamanya lathifah al-nafsi sebagai tempatnya al-nafsu al-amarah. Lathifah al-qalbi sebagai tempatnya nafsu allawamah. Lathifah al-Ruhi sebagai tempatnya al-nafsu al-mulhimmah, dan seterusnya. Dengan kata lain bertempatnya lathifah yang bersifat immaterial ke dalam badan jasmani manusia adalah sepenuhnya karena kuasa Allah.
Lathifah sebagai kendaraan media bagi ruh bereksistensi dalam diri manusia yang bersifat barzakhiyah (keadaan antara kehidupan jasmaniah dan rohaniah).
Pada hakekatnya penciptaan ruh manusia (lima lathifah), tidak melalui sistem evolusi. Ruh ditiupkan oleh Allah ke dalam jasad manusia melalui proses. Ketika jasad Nabi Adam a.s telah tercipta dengan sempurna, maka Allah memerintahkan ruh Nya untuk memasuki jasad Nabi Adam a.s. Maka dengan enggan ia menerima perintah tersebut. Ruh memasuki jasad dengan berat hati karena harus masuk ke tempat yang gelap. Akhirnya ruh mendapat sabda Allah: "Jika seandainya kamu mau masuk dengan senang, maka kamu nanti juga akan keluar dengan mudah dan senang, tetapi bila kamu masuk dengan paksa, maka kamupun akan keluar dengan terpaksa". Ruh memasuki melalui ubun-ubun, kemudian turun sampai ke batas mata, selanjutnya sampai ke hidung, mulut, dan seterusnya sampai ke ujung jari kaki. Setiap anggota tubuh Adam yang dilalui ruh menjadi hidup, bergerak, berucap, bersin dan memuji Allah. Dari proses inilah muncul sejarah mistis tentang karakter manusia, sejarah salat (takbir, ruku dan sujud), dan tentang struktur ruhaniah manusia (ruh, jiwa dan raga).
Bahkan dalam al Qur'an tergambarkan ketika ruh sampai ke lutut, maka Adam sudah tergesa gesa ingin berdiri. Sebagaimana firman Allah : "Manusia tercipta dalam ketergesa-gesaan" (Q.S.21:37).
Pada proses penciptaan anak Adam pun juga demikian, proses bersatunya ruh ke dalam badan melalui tahapan. Ketika sperma berhasil bersatu dengan ovum dalam rahim seorang ibu, maka terjadilah zygot (sel calon janin yang diploid ). Ketika itulah Allah meniupkan sebagian ruhnya (QS : 23 : 9), yaitu ruh al-hayat. Pada tahapan selanjutnya Allah menambahkan ruhnya, yaitu ruh al-hayawan, maka jadilah ia potensi untuk bergerak dan berkembang, serta tumbuh yang memang sudah ada bersama dengan masuknya ruh al-hayat.
Sedangkan tahapan selanjutnya adalah peniupan ruh yang terakhir, yaitu ketika proses penciptaan fisik manusia telah sempurna (bahkan mungkin setelah lahir). Allah meniupkan ruh al-insan (haqiqat Muhammadiyah). Maka dengan ini, manusia dapat merasa dan berpikir. Sehingga layak menerima taklif syari' (kewajiban syari'at) dari Allah dan menjadi khalifah Nya.
Itulah tiga jenis ruh dan nafs yang ada dalam diri manusia, sebagai potensi yang menjadi sudut pandang dari fokus pembahasan lathifah (kesadaran). Lima lathifah yang ada di dalam diri manusia itu adalah tingkatan kelembutan kesadaran manusia. Sehingga yang dibahas bukan hakikatnya, karena hakikat adalah urusan Tuhan (QS : 17 : 85), tetapi aktivitas dan karakteristiknya.
Lathifah al-qalb, bukan qalb (jantung) jasmaniah itu sendiri, tetapi suatu lathifah (kelembutan), atau kesadaran yang bersifat rubbaniyah (ketuhanan) dan ruhaniah. Walaupun demikian, ia berada dalam qalb (jantung) manusia sebagai media bereksistensi. Menurut Al Ghazall, di dalam jantung itulah memancarnya ruh manusia itu. Lathifah inilah hakikatnya manusia. Ialah yang mengetahui, dia yang bertanggung jawab, dia yang akan disiksa dan diberi pahala. Lathifah ini pula yang dimaksudkan sabda Nabi "Sesungguhnya Allah tidak akan memandang rupa dan hartamu, tetapi ia memandang hatimu".
Latifiah al-qalb bereksistensi di dalam jantung jasmani manusia, maka jantung fisik manusia ibaratnya sebagai pusat gelombang, sedangkan letak di bawah susu kiri jarak dua jari (yang dinyatakan sebagai letaknya lathifah al-qalb) adalah ibarat "channelnya". Jika seseorang ingin berhubungan dengan lathifah ini, maka ia harus berkonsentrasi pada tempat ini. Lathifah ini memiliki nur berwarna kuning yang tak terhinggakan (di luar kemampuan indera fisik).
Demikian juga dengan lathifah al-ruh, dia bukan ruh atau hakikat ruh itu sendiri. Tetapi lathifah al-ruh adalah suatu identitas yang lebih dalam dari lathifah al-qalb. Dia tidak dapat diketahui hakikatnya, tetapi dapat dirasakan adanya, dan diketahui gejala dan karakteristiknya. Lathifah ini terletak di bawah susu kanan jarak dua jari dan condong ke arah kanan. Warna cahayanya merah yang tak terhinggakan. Selain tempatnya sifat-sifat yang baik, dalam lathifah ini bersemayam sifat bahimiyah atau sifat binatang jinak. Dengan lathifah ini pula seorang salik akan merasakan fana al-sifat (hanya sifat Allah saja yang kekal), dan tampak pada pandangan batiniah.
Lathifah al-sirri merupakan lathifah yang paling dalam, terutama bagi para sufi besar terdahulu yang kebanyakan hanya menginformasikan tentang tiga lathifah manusia, yaitu qalb, ruh dan sirr. Sufi yang pertama kali mengungkap sistem interiorisasi lathifah manusia adalah Amir Ibn Usman Al Makki (w. 904 M), yang menurutnya manusia terdiri dari empat lapisan kesadaran, yaitu raga, qalbu, ruh dan sirr. Dalam temuan Imam al Robbani al Mujaddid, lathifah ini belum merupakan latifiah yang terdalam. Ia masih berada di tengah tengah lathifah al ruhaniyat manusia. Tampaknya inilah sebabnya sehingga al Mujaddid dapat merasakan pengalaman spiritual yang lebih tinggi dari para sufi sebelumnya, seperti Abu Yazid al Bustami, al-Hallaj (309 H), dan Ibnu Arabi (637 H). Setelah ia mengalami "ittihad" dengan Tuhan, ia masih mengalami berbagai pengalaman ruhaniah, sehingga pada tataran tertinggi manusia ia merasakan sepenuhnya, bahwa abid dan ma'bud adalah berbeda, manusia adalah hamba, sedangkan Allah adalah Tuhan.
Hal yang diketahui dari lathifah ini adalah, ia memiliki nur yang berwarna putih berkilauan. Terletak di atas susu kiri jarak sekitar dua jari, berhubungan dengan hati jasmaniah (hepar). Selain lathifah ini merupakan manifestasi sifat-sifat yang baik, ia juga merupakan sarangnya sifat sabbu’iyyah atau sifat binatang buas. Dengan lathifah ini seseorang salik akan dapat merasakan fana' fi al-dzat, dzat Allah saja yang tampak dalam pandangan batinnya.
Lathifah al-khafi adalah lathifah al-robbaniah al-ruhaniah yang terletak lebih dalam dari lathifah al-sirri. Penggunaan istilah ini mengacu kepada hadis Nabi : "Sebaik-baik dzikir adalah khafi dan sebaik baik rizki adalah yang mencukupi". Hakikatnya merupakan rahasia Ilahiyah. Tetapi bagi para sufi, keberadaanya merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Cahayanya berwarna hitam, letaknya berada di atas susu sebelah kanan jarak dua jari condong ke kanan, berhubungan dengan limpa jasmani. Selain sebagai realitas dari nafsu yang baik, dalam lathifah ini bersemayam sifat syaithoniyyah seperti hasad, kibir (takabbur, sombong), khianat dan serakah.
Lathifah yang paling lembut dan paling dalam adalah lathifah al-akhfa. Tempatnya berada di tengah-tengah dada dan berhubungan dengan empedu jasmaniah manusia. Lathifah ini memiliki nur cahaya berwarna hijau yang tak terhinggakan. Dalam lathifah ini seseorang salik akan dapat merasakan'isyq (kerinduan) yang mendalam kepada Nabi Muhammad s.a.w. sehingga sering sering ruhaniah Nabi datang mengunjungi.
Relevan dengan pendapat al-Qusyairi yang menegaskan tentang tiga alat dalam tubuh manusia dalam upaya kontemplasi, yaitu:
Pertama qalb yang berfungsi untuk mengetahui sifat-sifat Allah.
Kedua, ruh berfungsi untuk mencintai Allah, dan
Ketiga, sirr berfungsi untuk melihat Allah.
Dengan demikian proses ma'rifat kepada Allah menurut al Qusyairi dapat digambarkan sebagai berikut dibawah ini.
Aktivitas spiritual itu mengalir di dalam kerangka makna dan fungsi rahmatan lil 'alamin; Tradisi kenabian pada hakekatnya tidak lepas dari mission sacred, misi yang suci tentang kemanusiaan dan kealam semestaan untuk merefleksikan asma Allah.

Maqâm Fana dalam Tasawuf

Maqâm Fana dalam Tasawuf

Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu al-fana’‘an al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’ ‘an al-nafs ialah hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh kasarnya dan alam sekitarnya.

Maqâm adalah suatu derajat dan tingkatan yang telah dicapai oleh seorang Arif setelah bertahun-tahun melewati segala penderitaan, tazkiyah, dan pensucian diri, serta segala kesulitan. Oleh karena itu, pada umumnya suatu perubahan akan bersifat tetap, abadi, dan tidak mudah sirna apabila dilalui dan dicapai dengan susah payah dan kerja keras.

Pada maqâm fana, manusia di hadapan Tuhan tidak menyaksikan diri sendirinya, penghambaannya, keinginan-keinginannya, harapan-harapannya, dan dunia sekelilingnya. Manusia hanya memandang dan melihat jamaliyah dan jalaliyah Tuhan. Apa saja yang disaksikan oleh para wali Tuhan adalah Yang Haq, apakah melalui perantara atau dengan perantara.

Bagi para pesuluk dan pencari makrifat terkadang perantara itu adalah nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, akan tetapi hijab dan perantara cahaya ini pun akan tersingkap, "Ya Tuhanku anugerahkan padaku kesempurnaan penyaksian kepada-Mu… sedemikian sehingga pandangan hati merobek hijab-hijab cahaya." Inilah puncak dan akhir derajat fana yang setelah itu manusia berada pada kondisi melupakan segala sesuatu kecuali Yang Haq dan "menyirnakan" segala sesuatu secara sempurna selain-Nya. Di sinilah dia mendengar dengan pendengaran Tuhan, melihat dengan pandangan Tuhan, dan berbicara dengan lisan Tuhan.

Realitas fana ini tidak sampai pada penyingkapan hakikat zat Tuhan, karena hakikat zat-Nya hanya diketahui oleh-Nya dan tidak ada satupun makhluk yang dapat menyaksikan hakikat zat-Nya.
Penjelasan Detail:

Secara leksikal fana bermakna ketiadaan dan kehancuran. Lawan dari fana adalah baqa yang berarti abadi, tetap, dan eksis. Kata ini dipergunakan dalam al-Quran, walaupun sebagian dari derivatnya yang diaplikasikan, seperti: "Segala sesuatu akan hancur dan yang tinggal wajah Tuhanmu," Tuhan dalam ayat ini meletakkan kata "fanin" (hancur) berhadapan dengan kata "yabqa" (yang tetap, yang tinggal, dan abadi), yang bermakna bahwa hanya Tuhanlah yang selamanya ada dan baqa, sementara segala sesuatu selain-Nya adalah hancur dan sirna.

Akan tetapi, makna gramatikal fana tidak bersesuaian dengan makna leksikalnya. Fana dalam makna gramatikalnya adalah tidak menyaksikan, memandang, melihat, dan mendapatkan dirinya sendiri. Namun hal ini tidak berarti asing terhadap dirinya sendiri, melainkan manusia tidak menyaksikan dirinya sendiri di hadapan Tuhan dan hanya Dia yang dipandang.

Istilah fana’ kata Nicholson, memiliki beberapa tingkatan, aspek dan makna. Semuanya dapat diringkaskan sebagai berikut :

a. Transformasi moral dari jiwa yang dicapai melalaui pengendalian
nafsu dan keinginan.

b. Abstarksi mental dan berlakunya pikiran dari seluruh objek persepsi,
pemikiran, tindakan dan perasaan; dan dengan mana kemudian
memusatkan fikiran tentang Tuhan. Yang dimaksud dengan
memikirkan Tuhan adalah memikirkan dan merenunggi sifat-sifat-
Nya.

c. Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran. Tingkat fana yang
tertinggi akan tercapai apabila kesadaran tentanag fana itu sendiri
juga hilang. Inilah yang oleh para sufi dikenal “kefanaan dari fana”
atau lenyapnya kesadaran tentang tiada (fana’ al-fana’)
(R. A. Nicholson, 1975: 60-61).

Selanjutnya, kata Nicholson, tahap terakhir dari fana’ adalah
lenyapnya diri secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa,
yang artinya berkesinambungan di dalam Tuhan (Nicholson, 1975: 61).
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam faham fana ini, materi
manusianya tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang hilang
hanya kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi akan
eksistensi jasad kasarnya. Nicholson mengertikan faham ini sebagai: fana
the passing-away of the Sufi from his phenomenal existence, in volves
baqa’, the continuance of his real existence. He who dies to self lives in
God, and fana, the consummation of this death, marks the attainment or
baqa’, or union with the divine life” (Nicholson, 1973: 149). Yakni, “Fana,
sirnanya sufi terhadap wujud dirinya, masuk ke dalam baqa, kesinambungan
wujudnya yang sebenarnya. Dia orang yang kelihatan pribadi, hidup
bersama Tuhan, dan fana, kesempurnaan dari kematian (kehancuran) ini,
menandakan tercapainya baqa, atau persatuan dengan kehidupan Ilahi”

Definisi Fana dalam Perspektif Para Arif

Al-Junaid, sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim Basyuni,
menggambarkan fana’ sebagai “sirnanya daya tangkap hati terhadap yang
bersifat indrawi karena menyaksikan sesuatu, maksudnya lenyap segala
yang ada dihadapan serta segala sesuatu dari serapan indrawi sehingga tidak
ada sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan”

Abu Said Harraz mendefenisikan fana sebagai berikut, "Fana adalah fananya seorang hamba dari memandang penghambaannya, dan baqa adalah baqanya seorang hamba dengan penyaksian Ilahi.

Qusyairi menyatakan, "Setiap kali Pemiliki Hakikat menyelimuti dirinya maka dia tidak lagi menyaksikan segala sesuatu selain-Nya baik wujudnya maupun perbuatannya, dia fana dari makhluk dan baqa dengan perantaran-Nya."

Mir Syarif Jurjany juga mengungkapkan, "Sirna dan tiadanya sifat-sifat buruk itu disebut fana, sebagaimana keberadaan sifat-sifat yang terbatas dikatakan baqa."
Maqâm Fana

Di dalam Irfan terdapat dua istilah:

1. Maqâm;

2. Hâl.

Maqâm adalah suatu derajat dan tingkatan yang telah dicapai secara ikhtiari (dengan kehendak sendiri) oleh seorang Arif setelah bertahun-tahun melewati segala tempaan, tazkiyah, pensucian diri, dan segala kesulitan. Oleh karena itu, secara umum maqâm itu sangatlah sulit untuk sirna dan tiada. Dengan ungkapan lain, penderitaan dan kesulitan yang dijalani dan dialami secara terus menerus dan bergradual oleh seorang Arif dan pesuluk dalam praktek-praktek kezuhudan dan pengorbanan diri sendiri telah mengantarkannya pada suatu derajat khusus dan maqâm tertentu yang pantas baginya. Dan karena tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan pensucian diri itu dilaluinya dengan upaya yang sungguh-sungguh dan kerja keras, maka maqâm yang telah digapainya itu tidak akan turun dan sirna dengan mudah.

Sementara pengertian hâl berlawanan dengan maqâm tersebut. Hâl adalah suatu bentuk perubahan yang hadir pada diri seorang arif tanpa kehendaknya sendiri setelah menapaki tahapan-tahapan spiritual. Karena perubahan yang hadir itu datang secara tiba-tiba, maka sangat mungkin akan sirna juga dengan tiba-tiba. Dengan demikian, hâl adalah suatu kualitas spiritual yang tidak bersifat konstan dan terus menerus mengalami suatu perubahan.

Manusia dalam maqâm fana tidak menyaksikan dirinya sendiri, penghambaannya, kecenderungan-kecenderungannya, harapan-harapannya, dan alam sekitarnya di hadapan Tuhan dan hanya semata-mata memandang Yang Haq.

Dalam kondisi demikian, fana tidak lagi bersesuaian dengan makna leksikalnya yang bernada negatif, bahkan merupakan suatu tingkatan kesempurnaan. Dan inilah yang sebenarnya dimaksudkan oleh para urafa yang menyatakan, "Puncak fana adalah baqa dan abadi di hadapan Yang Haq." Inilah yang dalam istilah Irfan dinamakan sebagai "fana fii Allah" (fana dalam sifat-sifat Tuhan).

Bagaimana Mencapai Maqâm Fana

Ketika antara manusia dan Tuhannya terdapat hijab-hijab berupa dosa-dosa, maksiat, dan egoisme, serta kebergantungan kepada selain-Nya, maka hijab-hijab kegelapan ini akan menjadi penghalang yang sangat besar untuk sampainya seorang hamba di hadapan suci Tuhannya.

Apabila dia tidak memiliki dosa-dosa, hijab-hijab kegelapan, dan kebergantungan kepada selain-Nya serta sirnanya perhatian kepada keinginan diri sendiri, maka sangat mungkin dia menggapai derajat penyaksian sifat-sifat Tuhan secara terbatas. Setelah mencapai tingkatan ini barulah maqâm fana itu akan diraihnya dan hadir dalam dirinya.

Yang pasti bahwa dalam perjalanan dan suluk irfani ini terdapat banyak tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan yang kita tidak akan bahas dalam kesempatan ini. Akan tetapi, maksud dari "liqa ullah" (perjumpaan dengan Tuhan) yang dibungkus dalam kata-kata seperti syuhud, baqa, dan… adalah tidak dengan menggunakan mata lahiriah ini, karena sebagaimana dalam ayat al-Quran dikatakan, "Dia (Tuhan) tidak dapat dilihat dan dijangkau dengan mata."[3] Dan begitu pula Tuhan tidak dapat diliputi dengan pikiran-pikiran, karena pikiran dan metode rasionalitas itu tidak disebut sebagai syuhud, liqa, dan …; melainkan apabila seorang hamba ingin "menyaksikan" sifat-sifat Tuhan dan mencapai maqâm fana maka -sebagaimana yang difirmankan dalam al-Quran- dia harus meninggalkan segala sesuatu selain Tuhan, melaksanakan amal dan perbuatan shaleh, dan tidak menyekutukan Tuhan. Seorang hamba yang berkehendak menyaksikan Yang Haq dengan tanpa perantara mestilah dia tidak memandang dirinya sendiri dan segala sesuatu selain-Nya.

Allah Swt berfirman, "Barangsiapa yang berharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia beramal dengan amal yang shaleh dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dalam penghambaan kepada Tuhannya."

Nabi Musa As pun menjadi tidak sadarkan diri atau pingsan ketika berkaitan dengan cerita penyaksian Tuhan. Setelah beliau tersadar dari pingsannya bersabda, "Tuhanku Engkau tidak dapat disaksikan tanpa fana dan memutuskan segala bentuk keterikatan dan kebergantungan."

Akan tetapi, persoalan yang sangat mendasar di sini adalah apa makna dari ungkapan bahwa sebagian pembesar para pesuluk dan arif mengklaim dapat menyaksikan Tuhan Yang Maha Tinggi itu dengan tanpa perantara? Dan secara umum apa yang dimaksud dengan perantara-perantara tersebut?

Untuk memahami dan mengerti makna ungkapan tersebut alangkah baiknya kita memperhatikan dan menyimak pernyataan-pernyataan Imam Khomeni qs dalam kitabnya "Arbain Hadis". Beliau dalam kitab itu mengungkapkan, "Setelah mencapai ketakwaan yang sempurna, terputusnya secara total perhatian dan kebergantungan hati dari segala sesuatu yang ada di alam, menyirnakan segala bentuk egoisme dan kecintaan kepada diri sendiri, perhatian sempurna kepada Tuhan, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya, larut dalam kecintaan kepada Yang Maha Suci, melakukan segala bentuk pensucian hati, maka akan muncul dan hadir suatu bentuk pencerahan hati dan cahaya malakuti di dalam hati para pesuluk yang beriringan dengan manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan… dan antara ruh suci pesuluk dan Dzat Suci Tuhan hanya terdapat satu hijab, yakni hijab nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Untuk sebagian pembesar para pesuluk sangatlah mungkin mampu merobek hijab-hijab cahaya (hijab nama dan sifat Tuhan) tersebut dan hanya menyaksikan dirinya bergantung secara mutlak kepada Zat Suci Tuhan, dan dalam penyaksian ini dia "memandang" pancaran eksistensial Tuhan dan kefanaan zatnya sendiri."

Dengan kandungan makna yang kurang lebih sama dengan pernyataan Imam Khomeni qs, di bawah akan diutarakan suatu doa yang mulia, munajat sya'baniyah: "Ya Ilahi anugerahkan kepadaku kesempurnaan penyatuan dengan-Mu … sedemikian sehingga mata hati merobek hijab-hijab cahaya."

Dari berbagai referensi kitab-kitab tua seperti Kitab Syarah Hikam Ibni Athoillah As-Kandariah, Kitab Manhal-Shofi, Kitab Addurul-Nafs dan lain-lain menggunakan istilah-istilah seperti 'binasa' dan 'hapus' untuk memperihalkan tentang maksud fana. Ulama-ulama lainnya yang banyak menggabungkan beberapa disiplin ilmu lain seperti falsafah menggunakan istilah-istilah seperti 'lebur', 'larut', 'tenggelam' dan 'lenyap' dalama usaha mereka untuk memperkatakan sesuatu tentang 'hal' atau 'maqam' fana ini.

Di dalam Kitab Arrisalah al-Qusyairiah memberikan penjelasan tentang fana.
Fana itu ialah; "Lenyapnya sifat-sifat basyariah(pancaindera)"

"Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi
dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk
lain itu……. Sebenarnya dirinya ada dan demikian pula makhluk
lain ada. Tetapi Ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya"
(Al-Qusyairi, t.th: 37)


Maka sesiapa yang telah diliputi Hakikat Ketuhanan sehingga tiada lagi melihat daripada Alam baharu, Alam rupa dan Alam wujud ini, maka dikatakanlah ia telah fana dari Alam Cipta. Fana bererti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiah lahir dan maksiat batin) dan kekalnya sifat-sifat terpuji(mahmudah). Bahawa fana itu ialah lenyapnya segala-galanya, lenyap af'alnya/perbuatannya(fana fil af'al), lenyap sifatnya(fana fis-sifat), lenyap dirinya(fan fiz-zat)

Oleh kerana inilah ada di kalangan ahli-hali tasauf berkata:

"Tasauf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya kerena kehadiran hati mereka bersama Allah".

Sahabat Rasulullah yang banyak memperkatakan tentang 'fana' ialah Sayyidina Ali, salah seorang sahabat Rasulullah yang terdekat yang diiktiraf oleh Rasulullah sebagai 'Pintu Gedung Ilmu'. Sayyidina Ali sering memperkatakan tentang fana. Antaranya :

"Di dalam fanaku, leburlah kefanaanku, tetapi di dalam kefanaan itulah bahkan aku mendapatkan Engkau Tuhan".

Demikianlah 'fana; ditanggapi oleh para kaun sufi secara baik, bahkan fana itulah merupakan pintu kepada mereka yang ingin menemukan Allah(Liqa Allah) bagi yang benar-benar mempunyai keinginan dan keimanan yang kuat untuk bertemu dengan Allah(Salik). Firman Allah yang bermaksud:

"Maka barangsiapa yang ingin akan menemukan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amalan Sholeh dan janganlah ia mempersekutukan siapapun dalam beribadat kepada Allah (Surah Al-Kahfi:)

Untuk mencapai liqa Allah dalam ayat yang tersebut di atas, ada dua kewajiban yang mesti dilaksanakan iaitu:

* Pertamanya mengerjakan amalan sholeh dengan menghilangkan semua- sifat-sifat yang tercela dan menetapkan dengan sifat-sifat yang terpuji iaitu Takhali dan Tahali.
* Keduanya meniadakan/menafikan segala sesuatu termasuk dirinya sehingga yang benar-benar wujud/isbat hanya Allah semata-mata dalam beribadat. Itulah ertinya memfanakan diri.

Para Nabi-nabi dan wali-wali seperti Sheikh Abu Qasim Al-Junaid, Abu Qadir Al-Jailani , Imam Al-Ghazali, Ab Yazid Al-Busthomi sering mengalami keadaan "fana" fillah dalam menemukan Allah. Umpamanya Nabi Musa alaihisalam ketika ia sangat ingin melihat Allah maka baginda berkata yang kemudiannya dijawab oleh Allah Taala seperti berikut;

"Ya Tuhan, bagaimanakah caranya supaya aku sampai kepada Mu? Tuhan berfirman: Tinggalkan dirimu/lenyapkan dirimu(fana), baru kamu kemari."

Abu Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai pembawa faham al-Fana’, al-Baqa’, dan al-ittihad.

Ada seorang bertanya kepada Abu Yazid Al-Busthomi;

* "Bagaimana tuan habiskan masa pagimu?". Abu Yazid menjawab: "Diri saya telah hilang(fana) dalam mengenang Allah hingga saya tidak tahu malam dan siang".
* Satu ketika Abu Yazid telah ditanyai orang bagaimanakah kita boleh mencapai Allah. Beliau telah menjawab dengan katanya:
* "Buangkanlah diri kamu. Di situlah terletak jalan menuju Allah. Barangsiapa yang melenyapkan(fana) dirinya dalam Allah, maka didapati bahawa Allah itu segala-galanya".
* Beliau pernah menceritakan sesuatu tentang fana ini dengan katanya;
* Apabila Allah memfanakan saya dan membawa saya baqa dengaNya dan membuka hijab yang mendinding saya dengan Dia, maka saya pun dapat memandangNya dan ketika itu hancur leburlah pancainderaku dan tidak dapat berkata apa-apa. Hijab diriku tersingkap dan saya berada di keadaan itu beberapa lama tanpa pertolongan sebarang panca indera. Kemudian Allah kurniakan saya mata Ketuhanan dan telinga Ketuhanan dan saya dapat dapati segala-galanya adalah di dalam Dia juga."

Dari segi bahasa al-Fana’ berarti binasa , Fana’ berbeda dengan al-Fasad (rusak). Fana’ artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan Fasad atau rusak adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain . Menurut ahli sufi, arti Fana’ adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazimnya digunakan pada diri. Fana’juga berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat tercela .
Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud Fana’ adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka ia akan dikatakan Fana’ dari alam cipta atau dari alam makhluk . Selain itu Fana’ juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk lahir bathin.

Sebagai akibat dari Fana’ adalah Baqa’, secara harfiah Baqa’ berarti kekal sedangkan dalam pandangan kaum sufi, Baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena sifat-sifat kemanusiaan (basyariah) telah lenyap maka yang kekal dan tinggal adalah sifat-sifat ilahiyah atau ketuhanan. Fana’ dan Baqa’ ini menurut ahli tasawuf datang beriringan sebgaimana ungkapan mereka :”Apabila nampak nur ke Baqa’an, maka Fana’lah yang tiada dan Baqa’lah yangkekal”. Juga ungkapan mereka : “Tasawuf itu adalah mereka Fana’ dari dirinya dan Baqa’ dengan Tuhannya, karena kehadiran mereka bersama Allah”.

Abu Yazid al-Bustami berpendapat bahwa manusia hakikatnya se-esensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur eksitensi keberadaan-Nya sebagi suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari dirinya.
Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah : Fana’nya seseorang dari dirinya dan makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya .

Diantara kaum sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Seorang sufi yang sampai pada tingkat ma’rifah akan melihat Tuhan dengaqn mata sanubarinya .

Menurut al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut Fana’ al-sifat dan proses penghancuran tentang irodah dirinya disebut Fana’ al-irodah serta proses penghancuran tentang adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya disebut Fana’ al-nafs. Apabila seorang sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs yaitu tidak disadarinya wujud jasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud rohaniahnya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara ruhani.

Dari berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju dengan Fana’ dan Baqa’ adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan bathiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian materimanusianya tetap ada, sama sekali tidak hancur, demikianlah juga alam sekitarnya, yang hilang atau hancur hanya kesadaran dirinya sebagai manusia, ia tidak lagi merasakan jasad kasarnya.

Al-Kalabazi (wafat 380 H) menjelaskan bahwa keadaan Fana’ itu tidak bisa berlangsung terus-menerus sebab kelangsungannya yang terus-menerus akan menghentikan organ-organ tubuh untuk melaksanakan fungsinya sebagai hamba Allah dan peranannya sebagain khalifah di muka bumi .
Bila seseorang telah Fana’ atau tidak sadar lagi tentanmg wujudnya sendiri dan wujud lain disekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada Baqa’ dan berlanjut kepada Ittihad. Fana’ dan Baqa’ menurut sufi adalah kembar dan tak terpisahkan sebagaimana ungkapan mereka : “Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, maka yang ada adalah sifat-sifat Tuhan” .
Dengan tercapainya Fana’ dan Baqa’ maka seorang sufi dianggap telah sampai kepada tingkat ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal (Tuhan) yang oleh Bayazid disebut “Tajrid Fana’ fi at- Tauhid” yaitu dengan perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun .

Dalam ajaran ittihad, yang dilihat hanya satu wujud meskipun sebenarnya ada dua wujud yaitu Tuhan dan manusia. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud maka dalam ittihad ini bisa jadi pertukaran peranan antara manusia dengan Tuhan. Dalam suasana seperti ini mereka merasa bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana antara yang mencinta dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu memanggil yang lain dengan kata-kata “Hai Aku” . Dalam keadaan Fana’ si sufi yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi sehingga ia berbicara atas nama Tuhan.
Al-Bustami ketika telah Fana’ dan mencapai Baqa’ maka dia mengucapkan kata-kata ganjil seperti :

“ Tidak ada Tuhan melainkan aku, sembahlah aku, Maha suci aku, Maha suci aku, Maha besar aku” .
Selanjutnya diceritakan bahwa seorang lelaki lewat rumah Abu Yazid (al-Bustami) dan mengetok pintu,
Abu Yazid bertanya : “Siapa yang engkau cari ?” jawabnya : “Abu Yazid”.
Lalu Abu Yazid mengatakan : “Pergilah, dirumah ini tidak ada kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi” .

Ittihad ini dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf) bagi orang yang toleran, akan tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama hal ini dipandang sebagai suatu kekufuran. Faham ittihad ini selanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud.
Ittihad juga adalah hal yang sama yang dijadikan faham oleh al-Hallaj (lahir 224 H / 858 M) dengan fahamnya al-Hulul yang berarti penyatuan meliputi : a) penyatuan substansial antara jasad dan ruh; b) penyatuan ruh dengan Tuhan dalam diri manusia; c) inkarnasi suatu aksiden dalam substansinya; d) penyatuan bentuk dengan materi pertama dan e) hubungan antara suatu benda dengan tempatnya .
Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad yaitu dalam hulul, jasad al-hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah. Dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh.
Faham sufi yang juga dekat dengan faham Ittihad ini adalah dengan faham wahdat al-wujud yang diperkenalkan oleh Ibn Araby wafat tahun 638 H/ 1240 M). Faham wahdat al-wujud ini menurut Harun Nasution adalah merupakan kelanjutan dari faham al-Hulul. Konsep wahdat al-wujud ini memahami bahwa aspek ketuhanan ada dalam tiap mahkluk, bukan hanya manusia sebagaimana yang dikatakan al-Hallaj .
Paham fana’, Baqa’, dan Ittihad menurut kaum sufi sejalan dengan konsep pertemuan dengan Allah. Fana’ dan Baqa’ juga dianggap merupakan jalan menuju pertemuan dengan Tuhan sesuai dengan Firman Allah SWT yang bunyinya :

“Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada-Nya” (Q.S. al-Kahfi, 18 : 110)
Hal yang lebih jelas mengenai proses Ittihad dapat pula kita simak melalui ungkapan al-Bustami : “Pada suatu hari ketika saya dinaikkan ke hadirat Allah, Ia berkata, “Hai Abu Yazid, mahkluk-Ku ingin melihatmu, aku menjawab, hiasilah aku dengan keesaan itu, sehingga apabila mahkluk itu melihatku mereka akan berkata :“Kami tetap melihat engkau, maka yang demikian adalah engkau dan aku tidak ada disana” .
Hal ini merupakan ilustrasi proses terjadinya Ittihad, Demikian juga dalam ungkapan Abu Yazid : “Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah mahklukku, aku pun berkata : Aku adalah engkau, engkau adalah aku dan aku adalah engkau . sebenarnya kata-kata “Aku” bukanlah sebagai gambaran dari diri Abu Yazid, tetapi gambaran Tuhan, karena ia telah bersatu dengan Tuhan sehingga dapat dikatakan bahwa Tuhan bicara melalui lidah Abu Yazid sedang Abu Yazid tidak mengetahui dirinya Tuhan.




Al-Junaid Al-Bagdadi yang menjadi Imam Tasauf kepada golongan Ahli Sunnah Wal-Jamaah pernah membicarakan tentang fana ini dengan kata-kata beliau seperti berikut:

* Kamu tidak mencapai baqa(kekal dengan Allah) sebelum melalui fana(hapus diri)
* Membuangkan segala-galanya kecuali Allah dan 'mematikan diri' ialah kesufian.
* Seorang itu tidak akan mencapai Cinta kepada Allah(mahabbah) hingga dia memfanakan dirinya. Percakapan orang-orang yang cinta kepada Allah itu pandangan orang-orang biasa adalah dongeng sahaja.

3. Himpunan perkataan Tentang Fana

A. Sembahyang orang yang cinta (mahabbah) ialah memfanakan diri sementara sembahyang orang awam ialah rukuk dan sujud.

B. Setengah mereka yang fana (lupa diri sendiri) dalam satu tajali zat dan kekal dalam keadaan itu selama-lamanya. Mereka adalah Majzub yang hakiki.

C. Sufi itu mulanya satu titik air dan menjadi lautan. Fananya diri itu meluaskan kupayaannya. Keupayaan setitik air menjadi keupayaan lautan.

D. Dalam keadaan fana, wujud Salik yang terhad itu dikuasai oleh wujud Allah yang Mutlak. Dengan itu Salik tidak mengetahui dirinya dan benda-benda lain. Inilah peringkatWilayah(Kewalian). Perbezaan antara Wali-wali itu ialah disebabkan oleh perbezaan tempoh masa keadaan ini. Ada yang merasai keadaan fana itu satu saat, satu jam, ada yang satu hari an seterusnya. Mereka yang dalam keadaan fana seumur hidupnya digelar majzub. Mereka masuk ke dalam satu suasana dimana menjadi mutlak.

E. Kewalian ialah melihat Allah melalui Allah. Kenabian ialah melihat Allah melalui makhluk. Dalam kewalian tidak ada bayang makhluk yang wujud. Dalam kenabian makhlik masih nampak di samping memerhati Allah. Kewalaian ialah peringakat fana dan kenabian ialah peringkat baqa

F. Tidak ada pandangan yang pernah melihat Tajalinya Zat. Jika ada pun ia mencapai Tajali ini, maka ianya binasa dan fana kerana Tajali Zat melarutkan semua cermin penzohiran. Firman Allah yang bermaksud :

Sesungguhnya Allah meliputi segala-galanya.(Surah Al-Fadhilah:54)

G. Tajali bererti menunjukkan sesuatu pada diriNya dalam beberapa dan berbagai bentuk. Umpama satu biji benih menunjukkan dirinya sebgai beberapa ladang dan satu unggun api menunjukkan dirinya sebagai beberapa unggun api.

H. Wujud alam ini fana (binasa) dalam wujud Allah.Dalilnya ialah Firman Allah dalam Surah An-Nur:35 yang bermaksud;

"Cahaya atas cahaya, Allah membimbing dengan cahayanya sesiapa yang dikehendakinya." dan "Allah adalah cahaya langit dan bumi."

I. Muraqobah ialah memfanakan hamba akan afaalnya dan sifatnya dan zatnya dalam afaal Allah, sifat Allah dan zat Allah.

J. Al-Thomsu atau hilang iaitu hapus segala tanda-tanda sekelian pada sifat Allah. Maka iaitu satu bagai daripada fana.

5. Tajuk-tajuk yang berkaitan dengan Fana

* Mikraj Muhammad
* Alamat Sampai Kepada Maqam Yang Tinggi

Adalah sangat mungkin manusia mencapai suatu derajat yang antara dia dan Tuhannya hanya terhijabi cahaya nama dan sifat Tuhan. Dan juga sangatlah mungkin manusia menggapai suatu tingkatan yang tidak ada lagi hijab-hijab cahaya antara dia dan Zat Suci Tuhan. Para pesuluk yang sempurna akan mampu melewati hijab-hijab cahaya ini dan meraih kefanaan yang sempurna. Dalam kondisi puncak spiritual ini, apa yang disaksikannya adalah hanya Yang Maha Suci. Apa yang didengarnya tidak lain adalah bersumber dari Yang Maha Benar. Dia melihat dengan "mata" Tuhan, mendengar dengan "telinga" Tuhan, dan berucap dengan "lisan" Tuhan. Inilah puncak dan akhir fana dalam Tuhan (fana fillah)


Sumber; belajarilmutasawu

Selasa, 16 Juli 2013

DOA DAN ZIKIR BERHUBUNG DENGAN JALAN SULUK



Sesiapa yang memilih untuk memisahkan dirinya daripada dunia supaya dia dapat menghampiri Allah hendaklah tahu ibadat-ibadat seperti doa dan zikir yang sesuai untuk tujuan tersebut. Melakukan ibadat tersebut memerlukan suasana yang suci dan sebaik-baiknya berada di dalam keadaan berpuasa. Bilik khalwat biasanya berhampiran dengan masjid kerana syarat bagi salik perlu meninggalkan bilik khalwatnya lima kali sehari bagi mengerjakan sembahyang berjemaah dan pada ketika tersebut hendaklah menjaga dirinya agar tidak menonjol, menyembunyikan diri dan tidak berkata-kata walau sepatah perkataan pun. Sesiapa yang di dalam suluk hendaklah mengambil langkah tegas untuk lebih menghayati dan mematuhi prinsip-prinsip, dasar-dasar dan syarat-syarat sembahyang berjemaah.
Setiap malam, ketika tengah malam, salik mestilah bangun untuk mengerjakan sembahyang tahajjud, yang bermaksud suasana jaga sepenuhnya di tengah-tengah tidur. Sembahyang tahajjud membawa symbol kebangkitan setelah mati. Bila seseorang berjaya bangun untuk melakukan sembahyang tahajjud dia adalah Pemilik hatinya dan pemikirannya bersih. Agar suasana jaga ini tidak rosak dia tidak seharusnya melibatkan diri dengan kegiatan harian seperti makan dan minum.
Sebaik sahaja bangun dengan menyedari dibangkitkan daripada kelalaian kepada kesedaran, ucapkan: “Alhamduli-Llahi ahyani ba’da ma amatani wa-ilaihin-nusyur- Segala puji bagi Allah yang membangkitkan daku setelah mengambil hidupku. Selepas mati semua akan dibangkitkan dan kembali kepada-Nya”.
Kemudian bacakan sepuluh ayat terakhir surah al-‘Imraan, iaitu ayat 190 – 200. Selepas itu mengambil wuduk dan berdoa: “Kemenangan untuk Allah! Segala puji untuk-Mu. Tidak ada yang lain daripada-Mu yang layak menerima ibadat. Daku bertaubat dari dosaku. Ampuni dosaku, maafkan kehadiranku, terimalah taubatku. Engkau Maha Pengampun, Engkau suka memaafkan. Wahai Tuhanku! Masukkan daku ke dalam golongan mereka yang menyedari kesalahan mereka  dan masukkan daku ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang salih yang memiliki kesabaran, yang bersyukur, yang mengingati Engkau dan yang memuji Engkau malam dan siang”.
Kemudian dongakkan pandangan ke langit dan buat pengakuan: “Aku naik saksi tiada Tuhan melainkan Allah, Esa, tiada sekutu, dan aku naik saksi Muhamamd adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Daku berlindung dengan keampunan-Mu daripada azab-Mu. Daku berlindung dengan keredaan-Mu daripada murka-Mu. Daku berlindung dengan-Mu daripada-Mu. Aku tidak mampu mengenali-Mu sebagaimana Engkau kenali Diri-Mu. Aku tidak mampu memuji-Mu selayaknya. Daku adalah hamba-Mu, daku adalah anak kepada hamba-Mu. Dahiku yang di atasnya Engkau tuliskan takdir adalah dalam tangan-Mu. Perintah-Mu berlari menerusi daku. Apa yang Engkau tentukan untukku adalah baik bagiku. Daku serahkan kepada-Mu tanganku dan kekuatan yang Engkau letakkan padanya. Daku buka diriku di hadapan-Mu, mendedahkan semua dosaku. Tiada Tuhan kecuali Engkau, dan Engkau Maha Pengampun, aku yang zalim, aku yang berbuat kejahatan, daku menzalimi diriku. Untukku kerana daku adalah hamba-Mu ampunkan dosa-dosaku. Engkau jualah Tuhan, hanya Engkau yang boleh mengampunkan”.
Kemudian menghadap ke arah kiblat dan ucapkan: “Allah Maha Besar! Segala puji untuk-Nya. Aku ingat dan membesarkan-Nya”.
Kemudian ucapkan sepuluh kali: “Segala kemenangan buat Allah”.
Kemudian ucapkan sepuluh kali: “Segala puji dan syukur untuk Allah”.
Kemudian ucapkan sepuluh kali: “Tiada Tuhan melainkan Allah”.
Kemudian lakukan sembahyang sepuluh rakaat, dua rakaat satu salam. Nabi s.a.w bersabda, “Sembahyang malam dua, dua”. Allah memuji orang yang bersembahyang malam. “Dan di sebahagian malam hendaklah engkau sembahyang tahajjud sebagai sembahyang sunat untukmu, supaya Tuhanmu bangkitkan kamu di satu tempat yang terpuji”. (Surah Bani Israil, ayat 79).
“Renggang rusuk-rusuk mereka dari tempat tidur, dalam keadaan menyeru Tuhan mereka dengan takut dan penuh harapan, dan sebahagian daripada apa yang Kami kurniakan itu mereka belanjakan”. (Surah as-Sajadah, ayat 16 & 17).
Kemudian pada akhir malam bangun semula untuk mengerjakan sembahyang witir tiga rakaat, sembahyang yang menutup semua sembahyang-sembahyang pada hari itu. Pada rakaat ketiga selepas al-Faatihah bacakan satu surah dari Quran, kemudian angkatkan tangan seperti pada permulaan sembahyang sambil ucapkan “Allahu Akbar!” dan bacakan doa qunut. Kemudian selesaikan sembahyang seperti biasa.
Setelah matahari terbit orang yang di dalam suluk perlu melakukan sembahyang isyraq, sembahyang yang menerangi, dua rakaat. Selepas itu melakukan sembahyang istihadha’ dua rakaat, mencari perlindungan dan keselamatan daripada syaitan. Pada rakaat pertama selepas al-Faatihah bacakan surah al-Falaq. Dalam rakaat kedua selepas al-Faatihah bacakan surah an-Nas.
Bagi mempersiapkan diri untuk hari itu lakukan sembahyang sunat istikharah, sembahyang meminta petunjuk Allah untuk keputusan yang benar pada hari itu. Pada tiap rakaat selepas al-Faatihah bacakan ayat al-Kursi. Kemudian tujuh kali surah al-Ikhlas. Kemudian pagi itu lakukan sembahyang dhuha, sembahyang kesalihan dan kedamaian hati. Lakukan enam rakaat. Bacakan surah asy-Syams dan surah ad-Dhuha. Sembahyang dhuha diikuti oleh dua rakaat kaffarat, sembahyang penebusan terhadap kekotoran yang mengenai seseorang tanpa boleh dielakkan atau disedari. Tersentuh dengan kekotoran walaupun secara tidak sengaja masih berdosa, boleh dihukum. Ini boleh berlaku walaupun di dalam suluk, misalnya melalui keperluan tubuh badan. Nabi s.a.w bersabda, “Jaga-jaga dari najis – walaupun ketika kamu kencing, satu titik tidak mengenai kamu – kerana ia adalah keseksaan di dalam kubur”. Setiap rakaat, selepas membaca al-Faatihah bacakan surah al-Kausar tujuh kali.
Satu lagi sembahyang – panjang, walaupun empat rakaat – harus dilakukan dalam satu hari semasa khalwat atau suluk. Ini adalah sembahyang tasbih – sembahyang penyucian atau pemujaan. Jika seseorang itu mengikuti mazhab Hanafi dia melakukannya empat rakaat satu salam. Jika dia berfahaman Syafi’e dilakukannya dua rakaat satu salam, dua kali. Ini jika dilakukan di siang hari. Jika dilakukan malam hari Hanafi dan Syafi’e sependapat, dua rakaat satu salam, dua kali.
Nabi s.a.w memberitahu mengenai sembahyang ini kepada bapa saudara baginda, Ibnu Abbas, “Wahai bapa saudaraku yang ku kasihi. Ingatlah aku akan berikan kepada kamu satu pemberian. Perhatikanlah aku akan Sampaikan kepada kamu satu yang sangat baik. Ingatlah aku akan berikan kepada kamu kehidupan dan harapan baharu. Ingatlah aku akan berikan kepada kamu sesuatu yang bernilai sepuluh daripada perbuatan-perbuatan yang baik. Jika kamu kerjakan apa yang aku beritahu dan ajarkan kepada kamu Allah akan ampunkan dosa-dosa kamu yang lalu dan yang akan datang, yang lama dan yang baharu, yang kecil dan yang besar. Lakukan secara diketahui atau tidak diketahui, secara tersembunyi atau terbuka”. “Engkau kerjakan sembahyang empat rakaat. Pada tiap-tiap rakaat selepas al-Faatihah kamu bacakan satu surah dari Quran. Ketika kamu berdiri bacakan lima belas kali: Subhana Llahi il-hamdu li-Llahi la ilaha illa Llahu wa-Llahu akbar, wa-la hawla wa-la quwwata illa billahil l-‘Ali I-‘Azim. Bila kamu rukuk, tangan di atas lutut, bacakan sepuluh kali. Ketika berdiri ulanginya sepuluh kali lagi. Ketika kamu sujud bacakan sepuluh kali. Bila kamu bangun dari sujud bacakan sepuluh kali. Ketika duduk bacakan sepuluh kali. Sujud semula bacakan sepuluh kali. Duduk semula bacakan sepuluh kali. Kemudian bangun untuk rakaat kedua. Lakukan serupa untuk rakaat yang lain sehingga empat rakaat”. “Jika kamu mampu lakukan sembahyang ini setiap hari. Jika tidak lakukan sekali sebulan. Jika tidak mampu juga lakukan sekali setahun. Jika masih tidak mampu lakukan sekali seumur hidup”.
Jadi, empat rakaat itu tasbih diucapkan sebanyak tiga ratus kali. Sebagaimana Nabi s.a.w ajarkan kepada bapa saudara baginda Ibnu Abbas, dianjurkan juga kepada orang yang bersuluk melakukan sembahyang tersebut.
Selain daripada tugas tersebut orang yang di dalam suluk juga dianjurkan membaca Quran sekurang-kurangnya sebanyak 200 ayat sehari. Dia juga hendaklah mengingati Allah secara terus menerus dan menurut suasana rohani, samada menyebut nama-nama-Nya yang indah secara kuat atau senyap di dalam hati. Ingatan di dalam hati secara senyap hanya bermula bila hati kembali jaga dan hidup. Bahasa zikir ini adalah perkataan rahsia yang tersembunyi.
Setiap orang mengingati Allah menurut keupayaan masing-masing. Allah berfirman: “Hendaklah kamu sebut Dia sebagaimana Dia pimpin kamu”. (Surah al-Baqarah, ayat 198).
Ingatlah kepada-Nya menurut kemampuan kamu. Pada setiap tahap kerohanian ingatan itu berbeza-beza. Ia mempunyai satu nama lagi, ia mempunyai satu sifat lagi, satu cara lagi. Hanya orang yang ditahap itu tahu zikir yang sesuai.
Orang yang di dalam suluk juga dianjurkan membaca surah al-Ikhlas seratus kali sehari. Perlu juga membaca Selawat seratus kali sehari. Dia juga perlu membaca doa ini sebanyak seratus kali: “Astaghfiru Llah al-‘Azim, la ilaha illa Huwa l-Hayy ul-Qayyum – mimma qaddamtu wa-ma akhkhartu wa-ma ‘alantu wa-ma asrartu wa-ma anta a’lamu bihi minni. Anta l-Muqaddimu wa-antal Muakhkhiru wa-anta ‘ala kulli syai in Qadir”.
Masa yang selebihnya setelah dilakukan ibadat-ibadat yang telah dinyatakan, gunakan untuk membaca Quran dan lain-lain pekerjaan ibadat.

20 MUROQOBAH



Syeikh Ahmad Khatib Syambas ibnu Abdul Ghaffar Ra. pendiri Tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah dalam kitab Fathul 'Arifin mengatakan bahwa muraqabah itu ada 20:
        u
1. Muraqabah Ahadiyah
Yaitu, mengingat Allah SWT dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi dalam Zat, Sifat, dan Af’al-Nya, dan mengingat sifat kamal, Muhal dan Naqis-Nya Allah SWT; mengingat Sifat 20 yang wajib bagi Allah beserta sifat Muhal bagi Allah SWT.
Kegunaan dari muraqabah ini adalah berharap akan memperoleh anugerah keutamaan Allah dari arah yang enam (atas, bawah, depan, belakang, kanan, dan kiri) dari sifat Jaiz Allah SWT. Dalil dari muraqabah Ahadiyah adalah,
قُلْ هُوَاللهُ اَحَدٌ

“Katakanlah sesungguhnya Allah itu adalah Zat yang Maha Esa”.
(QS. Al Ikhlas[112]: 1)

2. Muraqabah Ma’iyyah
Yaitu, mengingat Allah SWT dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi akan besertanya Allah SWT didalam setiap bagian-bagian dalam diri kita yang bersifat maknawi (tidak bias dilihat adanya beserta Allah SWT dalam diri kita).
Kegunaan dari muraqabah Ma’iyyah adalah adalah berharap akan memperoleh anugerah keutamaan Allah dari arah yang enam (atas, bawah, depan, belakang, kanan, dan kiri) dari sifat Jaiz Allah SWT. Dalilnya adalah,

وَهُوَمَعَكُمْ اَيْنَماَكُنْتُمْ
“Allah secara maknawi itu bersama, dimanapun kalian berada”
(QS: al-Hadid [57]: 4)

3. Muraqabah Aqrabiyyah
Yaitu, mengawasi/mengintai-intai sesungguhnya Allah SWT itu lebih dekat kepada kita dibandingkan pendengaran kuping kita, penglihatan mata kita, penciuman hidung kita, perasa lidah kita, dan pikiran hati kita. Dalam arti Allah itu lebih dekat dibandingkan dengan seluruh anggota tubuh kita yang bersifat maknawi. Kita memikirkan semua makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT, seperti manusia dan hewan yang berada diatas bumi, yang terbang di awang-awang, semua makhluk yang berada didalam laut. Mengingat alam yang berada di atas, seperti langit lapis tujuh beserta isi-isinya (bulan, matahari,bintang, mega, dll), alam yang berada di bawah, seperti bumi yang lapis tujuh beserta isi-isinya (lautan, gunung, pepohonan, daun-daunan, tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam, dll). Dalilnya,

وَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ

“Aku (Allah) itu lebih dekat terhadap hamba-hamba-Ku dibandingkan dengan urat leher manusia”. (QS: Qaaf [50]:16)

Kegunaan dari muraqabah Aqrabiyyah adalah mengharapkan anugerah Allah kepada halus-halusnya otak yang berhubungan dengan lathaif yang lima yang berada di dalam dada yang dinamakan ‘Alam al-Amri. ‘Alam al-Amri adalah lokasi ijazahnya guru kepada murid. Adapun lafadz ijazahnya adalah:

اَلْبَسْتُكَ خِـرْقَةَالْفَقِـيْرِيَّةِ الصُّوْفِـيَّةِوَاَجَزْتُكَ اِجاَزَةًمُطْلَـقَةًلِلْاِرْشَادِوالْاِجَازَةِوَجَعَلْتُكَ خَلِيْفَةً.
“Aku pakaikan pakaian yang hina yang murni, dan aku ijazahkan kepadamu secara mutlak untuk dijadikan petunjuk dan ijazah dan kau kujadikan khalifah (pengganti)”

Kemudian si murid menjawab:

قَبِلْتُ وَرَضِيْتُ عَلَى ذلِكَ.
“Saya menerima, ridho atas ijazahnya guru kepadaku”

Maka murid sudah menjadi khalifah kecil. Inilah akhir dari wilayah shughra (wilayah kecil) dan permulaan wilayah kubra (wilayah besar).

4. Muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Ula
Yaitu, mengingat Allah SWT dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi akan kecintaan Allah SWT kepada kita makhluk-Nya yang beriman dengan menganugerahkan ridha dan pahala kepadanya, dan kecintaan kita makhluk-Nya yang beriman kepada Allah dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah mendekatkan diri kepada-Nya didalam maqam yang pertama, serta mengingat asmaul husna yang berjumlah 99, mengingat kepada keabadian Allah yang tidak berujung.
Kegunaan muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Ula adalah berharap akan anugerah Allah kepada lathaif nafs (halusnya otak yang terletak ditengah-tengahnya kedua belah mata dan kedua belah alis).

5. Muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Tsaniyyah
Yaitu, mengingat Allah SWT dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi akan kecintaan Allah SWT kepada kita makhluk-Nya yang beriman dengan menganugerahkan ridha dan pahala kepadanya, dan kecintaan kita makhluk-Nya yang beriman kepada Allah dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah mendekatkan diri kepada-Nya didalam maqam yang kedua, serta mengingat-ingat Sifat Allah yang ma’ani dan ma’nawiyyah
Manfaat muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Tsaniyyah adalah berharap akan anugerah Allah kepada lathaif nafs.

6. Muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Qausi
Yaitu, mengingat Allah SWT dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi akan kecintaan Allah SWT kepada kita makhluk-Nya yang beriman dengan menganugerahkan ridha dan pahala kepadanya, dan kecintaan kita makhluk-Nya yang beriman kepada Allah dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah mendekatkan diri kepada-Nya didalam maqam yang lebih dekat yang dipribahasakan dengan kadar se-bendera (isyarat kepada hal yang dekat sekali). Kegunaan muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Tsaniyyah adalah berharap akan anugerah Allah kepada lathaif nafs).
Dalilnya ketiga muraqabah diatas adalah,

يُحِبُّنَهُمْ وَيُحِبُّوْ نَهُ
“Allah mencintai orang-orang yang beriman kepada-Nya, dan mereka juga mencinta Allah SWT”. (QS. Al Maidah [5]:54)

7. Muraqabah Wilayah al-‘Ulya
Yaitu, mengingat Allah SWT dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang menjadikan wilayah Malaikat AS. Dalilnya,

هُوَالْأَوَّلُ وَالْأَخِـرُوَالظَّـاهِرُوَالْبَاطِنُ
“Allah itu Zat Yang terdahulu tanpa awal, Zat Yang Akhir tanpa ada ujungnya, Zat Yang zahir pekerjaannya, dan Zat yang bersifat maknawi”.
(QS. Al Hadid [52]:3)

Firman Allah SWT,
اِنَّ الَّذِيْنَ عِنْدَرَبِّكَ لاَيَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيُسَبِّحُوْنَهُ وَلَهُ يَسْجُدُوْنَ
Artinya:
“Sesungguhnya Semua Malaikat yang ada disamping Tuhanmu itu tidak mau menyombongkan diri dari beribadah kepada Tuhanmu, membaca tasbih dan sujud kepada Allah. Oleh sebab itu hendaklah kalian meniru sifat-sifat Malaikat (didalam memakai pakaian taqwa/sifat Malakaniya, sifat mahmudah munjiyat, dan meninggalkan sifat syaithaniyah/nafsiyyah/bahimah-hayawaniyyah/sifat mazmumat muhlikat) ”. (QS. Al A’raf [7]:206 )

Manfaat muraqabah wilayah al-ulya adalah unsur tiga yang ada pada manusia yaitu air, api, dan angin.
8. Muraqabah Kamalat al-Nubbuwwah
Yaitu, mengingat Allah SWT dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi Yang menjadikan kesempurnaan sifat kenabian. Dalilnya,

وَلَقَدْفَضَّلْنَابَعْضَ النَّبِيِّيْنَ عَلَى بَعْضٍ
Artinya:
“Sungguh Aku (Allah) lebih mengutamakan para Nabi mengalahkan kepada sebagian yang lainnya ”. (QS. Al Isra’ [17]:55)

Manfaat Muraqabah Kamalat al-Nubbuwwah adalah unsur tanah pada manusia

9. Muraqabah Kamalat al-Risalah
Yaitu, mengingat Allah SWT dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang menjadikan kesempurnaan sifat para Rasul. Dalilnya,

وَمَااَرْسَلْناكَ اِلاَّرَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
Artinya:
“Aku (Allah) tidak mengutus kepada Mu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta ”. (QS. Al Anbiya’ [12]: 107)

Dan firman Allah SWT,

تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَابَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ

Artinya:
“Aku (Allah) mengutamakan Para Rasul mengalahkan keutamaan yang lainnya”. (QS. Al Baqarah [2]:253)

Manfaat Muraqabah Kamalat al-Risalah adalah sifat Wahdaniyyah (lathaif 10 buah)11

10. Muraqabah Uli al-‘Azmi
Yaitu, mengingat Allah SWT dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang telah menjadikan Rasul dengan title ulil azmi, yaitu Nabi Muhammad SAW, Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, Nabi isa, nabi Nuh AS. Dalilnya,
وَاصْبِرْ كَمـَاصَبَرَاُوْلُوْالْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ
Artinya:
“Sabarlah kalian semua seperti para Rasul yang mempunyai pangkat ulil azmi”. (QS. Al Ahqaaf [46]:35)

Manfaat dari Muraqabah Uli al-‘Azmi adalah sifat Wahdaniyyah (lathaif 10 buah)

11. Muraqabah al-Mahabbah fi-Daerah al-Khullah wahiya Haqiqat Ibrahim ‘alaihi al-Salam
Yaitu, mengingat Allah SWT dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang telah menjadikan Nabi Ibrahim yang mempunyai pangkat kholilullah (kekasih Allah). Dalilnya,

وَاتَّخَذَاللهُ اِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً
Artinya:
“Allah telah menjadikan hakikatnya Nabi Ibrahim AS sebagai kekasih”.
(QS. An Nisa’ [4]:125)

Kegunaan dari Muraqabah al-Mahabbah fi-Daerah al-Khullah wahiya Haqiqat Ibrahim ‘alaihi al-Salam adalah sifat Wahdaniyyah ¬(lathaif 10 buah)

12. Muraqabah Daerah al-Mahabbah al-Shirfah wahiya haiqaqat Syaidina Musa ‘Alaihi al-Salam
Yaitu, mengingat Allah SWT dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang mulus, yang memberikan kasih sayang kepada Nabi Musa AS yang mempunyai gelar Kalimillah. Dalilnya,
وَاَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي.
Artinya:
“Aku Telah melimpahkan kepadamu (Musa) kasih sayang yang datang dari- Ku”. (QS. Thaaha [20]:39)

Kegunaan dari Muraqabah Daerah al-Mahabbah al-Shirfah wahiya haiqaqat Syaidina Musa ‘Alaihi al-Salam adalah Wahdaniyyah ¬(lathaif 10 buah)

13. Muraqabah al-Dzatiyyah al-Mumtazijah bi al-Mahabbah wahiya haqiqat al-Muhammadiyyah
Yaitu, mengingat Allah SWT dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang menjadikan hakikatnya Nabi Muhammad SAW menjadi kekasih yang utama serta sifat belas asih. Dalilnya,
وَمَامُحَمَّدٌ اِلاَّرَسُوْلٌ
Artinya:
“Tidaklah nabi Muhammad itu kecuali sebagai Utusan Allah”.
(QS. Ali Imran [3]:144)

Kegunaan muraqabah al-Dzatiyyah bi al-Murabbah wahiya haqiqat al- Muhammadiyyah adalah Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).

14. Muraqabah al-Mahbubiyyah al-Shirfah wahiya haqiqat al-Ahmadiyyah
Yaitu, mengingat Allah SWT dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang menjadikan hakikatnya Nabi Ahmad yang mempunyai sifat yang belas asih dan lembut. Dalilnya,
وَمُبَشِّرًابِرَسُوْلٍ يَأْتِى مِنْ بَعْدِىْ اِسْمُهُ اَحْمَدُ
Artinya:
“Bergemberilah wahai Nabi Isa AS dengan Rasul yang akan diutus didalam akhir zaman yang bernama Nabi Ahmad SAW”. (QS. Ashshaaf [61]:6)

Kegunaan Muraqabah al-Mahbubiyyah al-Shirfah wahiya haqiqat al-Ahmadiyyah adalah Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).

15. Muraqabah al-Hubbi al-Shirfi
Yaitu, mengingat Allah SWT dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang mulus mengasihi orang-orang mukmin yang mencintai Allah, para Malaikat, para Rasul, Nabi, Ulama, dan semua saudara-saudara yang beragama satu (Islam). Dalilnya,
وَالَّذِيْ أمَنُوْااَشَدَّحُبًّالِلَّهِ
Artinya:
“Sesungguhnya orang yang beriman itu lebih besar kecintaan kepada Allah SWT”. (QS. AL Baqarah [2]:165)

Kegunaan Muraqabah al-Hubbi al-Shirfi adalah Sifat Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).

16. Muraqabah Laa Ta’yin
Yaitu, mengingat Allah SWT dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang tidak bisa dinyatakan dengan Zat-Nya dan tidak ada makhluk baik itu Malaikat muqarrabin, Para Nabi dan Rasul yang dapat menemukan Zat-Nya. Dalilnya,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ وَهُوَالسَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ.
Artinya:
“Tidak ada sesuatu yang menyamai Allah. Dia adalah Zat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Asy-Syuraa [42]:11)
Kegunaan Muraqabah Laa ta’yin adalah Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).

17. Muraqabah Haqiqat al-Ka’bah
Yaitu, mengingat Allah SWT dengan i’tikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang telah menjadikan Ka’bah menjadi tempat sujud para mumkinaat kepada Allah SWT, Dalilnya,
فَوَلِّ وَجْـهَكَ شَطْرَالْمَسْجِدِالْحَرَامِ.
Artinya:
“Hadapakanlah dadamu kea rah Ka’bah yang berada di Masjidil Haram”
(QS. Al Baqarah [2]:144)

Kegunaan Muraqabah Haqiqat al-Ka’bah adalah Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).

18. Muraqabah Haqiqat al-Qur’an
Yaitu, mengingat Allah SWT dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang menjadikan hakikatnya Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dinilai ibadah membacanya, menjadi dakwah dengan ayat yang paling pendek sekalipun. Dalilinya,
وَاِنْ كُنْتُمْ فِى رَيْبٍ مِمَّانَزَّلْنَا عَلَى عبْدِنَافَأتُوْابِصُوْرَةٍمِنْ مِثْلِهِ.
Artinya:
“Jika kalian semua ragu terhadap Al-Qur’an yang telah kami turunkan kepada hambaKu Nabi Muhammad SAW, maka jika kalian mampu buatlah satu surat yang menyamai seperti surat ini”. (QS. Al Baqarah [2]:23)

Kegunaan dari muraqabah Haqiqat al-Qur’an adalah Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).

19. Muraqabah Haqiqat al-Shalat
Yaitu, mengingat Allah SWT dengan i’tikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang telah mewajibkan kepada hamba-hambaNya untuk mengerjakan shalat wajib lima waktu, yang mengandung beberapa ucapan dan gerakan, dimulai dari takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam dengan beberapa syarat, rukun, tata caranya, menjauhi beberapa hal yang bias membatalkan shalat, menjaga waktunya, disertai dengan khudu’ dan khusu’. Dalilnya,

اِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتاَباًمَوْقُوْتًا
Artinya:
“sesungguhnya shalat itu wajib dilaksanakan oleh setiap orang mukmin pada waktu yang telah ditentukan”. (QS. An Nisa’ [4]:103)

Kegunaan muraqabah Haqiqat al-Shalat adalah Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).

20. Muraqabah Daerah al-Ma’budiyyah al-Shirfah
Yaitu, mengingat Allah SWT dengan i’tikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang berhak untuk disembah oleh makhluk-Nya dengan tulus ikhlas karena Zat-Nya. Dalilnya,
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ والْاِنْسَانَ اِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ

Artinya:
“tidak Aku (Allah) jadikan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah tulus ikhlas kepada Allah SWT”. (QS. At-Thuur [52]:56

Wallohu'alam